PADA hari gugurnya pemimpin Hamas Yahya Sinwar, perasaan warga Jalur Gaza, Palestina, campur aduk di tengah pengungsian massal dan serangan udara Israel yang tak henti-hentinya.
Sebagian warga yang lelah berharap konflik lebih dari setahun ini segera berakhir. Namun, masih banyak juga yang ingin mendukung perlawanan.
Ketika berita gugurnya Sinwar menyebar melalui telepon seluler, gambar jenazahnya yang terkubur di reruntuhan dengan lubang menganga di kepalanya dengan cepat beredar secara online.
Gambaran brutal tersebut menandai akhir dramatis bagi warga asli Gaza yang muncul sebagai pemimpin kelompok Palestina. Sinwar gugur dalam serangkaian perang yang menghancurkan Gaza.
Namun ketika foto-foto beredar dan pengumuman beredar dari kantor berita Israel, banyak yang masih tidak percaya.
"Pembunuhan Yahya Sinwar ialah tragedi bagi rakyat Gaza. Kami tidak menduganya," kata Amal al-Hanawi, 28, dari Nuseirat di pusat Jalur Gaza tempat dia mengungsi setelah melarikan diri dari pertempuran di utara.
"Saya mendapat kesan bahwa Hamas sudah berakhir, tidak ada lagi perlawanan yang kuat, Hamas sudah hancur," katanya. "Inilah yang diinginkan Netanyahu," tambahnya.
Sementara itu, di media sosial, warga Gaza dan pro-Palestina ramai-ramai memuji perlawanan Sinwar karena telah berjuang sampai akhir dan menganggapnya sebagai pahlawan. "Dia akan dikenang sebagai pemimpin yang gugur di medan perang,” kata Ahmed Omar, 36.
Sebagian besar wilayah Gaza telah diratakan oleh serangan balasan Israel setelah serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu yang memicu serangan gencar yang tak henti-hentinya. Serangan Hamas mengakibatkan kematian 1.206 orang di Israel, sebagian besar warga sipil.
Pembalasan Israel telah menewaskan sedikitnya 42.438 orang, mayoritas warga sipil, menurut angka dari kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas dan dianggap dapat diandalkan oleh PBB.
Dengan kematian Sinwar, banyak orang bertanya-tanya apakah akhir perang sudah di depan mata. "Tidak ada lagi alasan bagi Netanyahu untuk melanjutkan perang pemusnahan ini," kata Moumen Abou Wassam, 22.
Lingkungan al-Tuffah di Kota Gaza, salah satu lingkungan tertua di wilayah tersebut yang terkenal dengan masjid-masjid bersejarahnya, beberapa di antaranya dibangun pada abad ke-13. Kini hampir seluruhnya hancur.
Abou Wassam berharap rekonstruksi segera dimulai. "Dengan izin Tuhan, perang akan berakhir, dan kita akan melihat dengan mata kepala kita sendiri rekonstruksi Gaza," katanya.
Sebelum kabar kematian Sinwar tersebar, hari itu diselingi oleh tembakan artileri dan serangan udara, termasuk serangan yang menghantam sekolah yang menampung pengungsi di kamp Jabalia yang menewaskan sedikitnya 14 orang, menurut dua rumah sakit di daerah tersebut.
Menurut PBB, sebagian besar warga Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka, dan banyak dari mereka kini menghadapi musim dingin kedua di kamp-kamp darurat. "Kami kelelahan, perang sudah terlalu jauh, perang telah merenggut segalanya dari kami," kata Shadi Nofal Abou Maher, 23, yang berharap dunia akan turun tangan untuk mengakhiri perang.
Menyusul berakhirnya perang sebelumnya dengan Israel pada 2021, Sinwar difoto memperlihatkan senyuman lebar yang jarang dilakukan saat dia duduk di kursi berlengan yang dikelilingi reruntuhan.
Belakangan, banyak warga Gaza yang juga mengunggah foto dirinya dengan pose serupa. Pada Kamis (17/10) malam gambar tersebut kembali dibagikan oleh beberapa orang di media sosial.
Sementara itu, para analis politik menilai bahwa meskipun Sinwar gugur, perlawanan Palestina tidak akan berakhir. "Ini bukan tentang satu orang. Ini gerakan yang berakar pada penindasan yang dirasakan rakyat Palestina," ujar seorang mantan penasihat pemerintah Israel kepada Al Jazeera.
Seorang jurnalis Palestina-Amerika dan pendiri situs Electronic Intifada, Ali Abunimah, mengatakan bahwa kesyahidan para pemimpin hanya akan memperkuat tekad rakyat untuk merdeka. "Jika laporan itu benar, Yahya Sinwar meninggal sesuai keinginannya, berjuang dengan terhormat bersama dan untuk rakyatnya, melawan kejahatan Zionisme, kolonialisme, dan genosida," tulisnya merespons kabar kematian pemimpin Hamas.
Penulis Palestina yang terkenal dengan novel-novelnya, Susan Abulhawa, mengatakan Sinwar gugur dalam pertempuran di garis depan bersama para prajuritnya melawan tirani dan kebiadaban Zionis. Sinwar tidak bersembunyi di terowongan seperti yang mereka katakan.
"Ia tentu saja tidak bersembunyi di bangunan berbenteng, merasa nyaman dengan jas dan kekayaan. Ia tewas sebagai martir dan pahlawan dalam mengejar kebebasan," kata Abulhawa di X.
"Mereka mengira perlawanan mati bersama dengan kemartiran para pemimpin, seolah-olah kerinduan yang membara akan kebebasan, rumah, dan warisan di dada kita dapat padam ketika hal itu menghancurkan hati kita. Selamat jalan putra yang mulia," pungkasnya. (Al Arabiya/Z-2)