MENURUT Bank Dunia, Maladewa tidak lagi menghadapi risiko langsung gagal bayar. Negara kepulauan itu harus fokus pada pengurangan pengeluaran dan penggalangan dana dari negara-negara sahabat untuk menghindari krisis.
"Asumsi dasar kami ialah semua dijadwalkan ulang sesuai kebutuhan atau dibayar sesuai rencana," kata Franziska Ohnsorge, ekonom Asia Selatan di Bank Dunia, dalam suatu wawancara. Penundaan dalam reformasi dan negosiasi utang akan menimbulkan risiko dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Maladewa bulan lalu menghindari potensi gagal bayar pada pembayaran obligasi Islam setelah India memberikan pinjaman bebas bunga sebesar US$50 juta kepada negara yang sedang bermasalah secara finansial itu. Moody's Ratings memperkirakan total kewajiban utang luar negeri negara itu sekitar US$600 juta hingga US$700 juta pada 2025. Angkanya dapat melebihi US$1 miliar pada 2026.
Negara itu menghadapi utang sukuk yang belum dibayar dan jatuh tempo pada 2026 sekitar US$500 juta, menurut data yang dikumpulkan Bloomberg. Cadangan devisanya hanya mencapai US$364 juta per September. Pemberi pinjaman yang berkantor pusat di Washington itu menurunkan perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi tahun depan menjadi 4,7% dari 5,2%.
Ohnsorge mengatakan kekurangan devisa dapat membatasi impor dan menunda proyek konstruksi besar, sehingga menambah hambatan ekonomi. "Ini merupakan proyek besar dan jika ditunda karena suatu alasan, pertumbuhan produk domestik bruto akan menurun," katanya. (Z-2)