Bank Dunia atau World Bank menyebut kawasan Asia Timur dan Pasifik yang sedang membangun terus bertumbuh lebih cepat daripada kawasan lain di dunia, tetapi masih lebih lambat daripada sebelum pandemi, ungkap Bank Dunia pada laporan enam-bulanan mengenai prospek ekonomi kawasan ini.
Dalam laporan terbarunya, Selasa (9/10), Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan di kawasan Asia Timur dan Pasifik berada pada angka 4,8 persen di tahun 2024, dan melambat ke 4,4 persen di tahun 2025. Pertumbuhan di China, perekonomian terbesar di kawasan ini, diproyeksikan menurun dari 4,8 persen tahun ini menjadi 4,3 persen di tahun 2025, di tengah terus lemahnya pasar properti, rendahnya kepercayaan konsumen maupun investor, dan berbagai kendala struktural seperti penduduk yang menua dan tekanan global.
Pertumbuhan di bagian lain kawasan ini diperkirakan meningkat dari 4,7 persen pada tahun 2024 menjadi 4,9% di tahun 2025, ditopang oleh meningkatnya konsumsi dalam negeri, pulihnya ekspor barang, dan kembali bergairahnya sektor pariwisata. Di antara negara-negara besar, pada tahun 2024 dan 2025 hanya Indonesia yang diperkirakan bertumbuh setara atau di atas tingkat pertumbuhan sebelum pandemi, sementara itu pertumbuhan di Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam diperkirakan berada di bawah tingkat pertumbuhan sebelum pandemi.
Negara-negara kepulauan di Pasifik diperkirakan bertumbuh di angka 3,5 persen pada tahun 2024 dan 3,4 persen pada tahun 2025, seiring pulihnya sektor pariwisata. Pertumbuhan investasi tetap lemah di sebagian besar bagian kawasan ini.
“Negara-negara di Kawasan Asia Timur dan Pasifik terus menjadi penggerak pertumbuhan perekonomian dunia,” kata Manuela V. Ferro, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik.
“Akan tetapi, pertumbuhan mengalami perlambatan. Untuk dapat mempertahankan pertumbuhan yang kuat di jangka menengah, negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik harus bersikap pro-aktif memodernisasi dan mereformasi perekonomian mereka dalam menavigasi pola perdagangan maupun teknologi yang terus berubah," jelasnya.
Economic Update kali ini menyoroti tiga faktor yang diperkirakan memengaruhi pertumbuhan di kawasan ini: bergesernya perdagangan dan investasi, melambatnya pertumbuhan di China, serta meningkatnya ketidakpastian kebijakan dunia.
Pertama, ketegangan pada sektor perdagangan yang akhir-akhir ini terjadi antara Amerika Serikat dengan China telah membuka peluang bagi negara-negara seperti Vietnam untuk memperdalam peran mereka di rantai nilai global dengan “menghubungkan” para mitra perdagangan utama. Perusahaan-perusahaan asal Vietnam yang mengekspor ke Amerika Serikat mengalami pertumbuhan angka penjualan sebesar hampir 25 persen lebih cepat daripada perusahaan-perusahaan yang mengekspor ke negara tujuan lainnya selama periode 2018-2021.
Akan tetapi, bukti baru menunjukkan adanya kemungkinan negara-negara mengalami keterbatasan dalam memainkan peran mereka sebagai “penghubung satu arah”, seiring diterapkannya berbagai ketentuan asal barang (Rules of Origin) yang baru dan lebih ketat mengenai pembatasan impor dan ekspor.
Kedua, negara-negara tetangga China mendapatkan manfaat dari pertumbuhannya yang kuat selama tiga dekade terakhir, akan tetapi saat ini daya dorong tersebut melemah. China mengangkat negara-negara lain dengan permintaan impornya, namun permintaan impor tersebut saat ini bertumbuh bahkan lebih lambat daripada PDB-nya. Impor mengalami pertumbuhan hanya 2,8 persen dalam tujuh bulan pertama tahun ini, dibandingkan dengan hampir 6 persen per tahun dalam dekade sebelumnya.
Ketiga, ketidakpastian global dapat berdampak negatif bagi perekonomian di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Selain ketidakpastian geopolitik, meningkatnya ketidakpastian kebijakan ekonomi dapat mengurangi produksi sektor industri hingga 0,5 persen maupun harga saham di kawasan ini hingga 1 persen.