Prabowo Subianto bakal diambil sumpahnya sebagai Presiden ke-8 RI pada 20 Oktober 2024. Tak bisa berleha-leha, ia sudah ditunggu berbagai masalah ekonomi negara, mulai dari turunnya daya beli masyarakat yang dibuktikan dengan deflasi selama lima bulan berturut sejak Mei, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak di mana-mana, hingga beban utang lungsuran Jokowi yang mencapai sekitar Rp 8.500 triliun.
Itu semua tampak semaki berat karena Prabowo mematok target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% di era kepemimpinannya.
Lantas, bagaimana kebijakan ekonomi Prabowo menjawab segala urusan yang berdampak ke urusan perut rakyatnya? Simak wawancara kumparan dengan Dradjad Wibowo, ekonom senior sekaligus anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Apa saja tantangan ekonomi yang menjadi catatan Prabowo di awal kepemimpinannya?
Cukup banyak. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, kita relatif kurang maksimal. Kualitas pertumbuhannya juga perlu diperbaiki. Kita perlu pertumbuhan berkualitas untuk lebih menyerap tenaga kerja. Apalagi kita punya tambahan orang setengah menganggur sampai 2,41 juta orang atau 1,61 persen penduduk.
Dengan tambahan yang cukup besar itu, otomatis kelas menengah akan menurun. Jadi kalau ada fenomena penurunan jumlah kelas menengah, penurunan daya beli yang kemudian berimbas ke deflasi yang cukup panjang, itu karena pertumbuhan kita kurang berkualitas. Penciptaan lapangan kerjanya kurang maksimal.
Kemudian ada tantangan stabilisasi makro, termasuk nilai tukar, di mana kita lihat rupiah sempat melonjak ke Rp 16.000 lebih. Ini tidak sehat. Yang dibutuhkan adalah rupiah yang stabil, yang pergerakannya bisa diprediksi.
Sementara tantangan dalam jangka menengah-panjang tentu hilirisasi. Kita menghadapi penurunan peranan industri yang dihadapi seluruh dunia, tapi di kita (Indonesia) perlu perhatian lebih serius. Jadi kita harus memulihkan sektor industri, dan salah satu yang perlu dipercepat adalah hilirisasi.
Dari semua itu, ada satu masalah amat krusial yang mengganggu pertumbuhan, mengganggu penciptaan lapangan kerja, mengganggu perkembangan industri, mengganggu ekspor, dan menganggu banyak hal lain, yaitu: regulasi dan birokrasi.
Mengenai penurunan daya beli masyarakat, bagaimana cara Prabowo mengatasinya dalam 100 hari pertama kerjanya agar konsumsi masyarakat kembali meningkat?
Seratus hari hanya tiga bulan. Tiga bulan itu kalau kita ambil langkah-langkah yang sistemik dan struktural, efeknya pun mungkin baru dirasakan akhir tahun yang akan datang (2025).
Dalam tiga bulan, yang harus dilakukan adalah menyelamatkan daya beli mereka yang terlempar dari kelas menengah, dengan program bantuan sosial.
Kartu-kartu [bansos] itu harus dikucurkan dananya dalam waktu cepat supaya mereka yang terlempar dari kelas menengah, dan mereka yang berasal dari kelompok miskin lalu terlempar lebih bawah lagi, bisa mulai membaik daya belinya.