Alumni SMKN 1 Kabupaten Klungkung, Bali, berinisial A (20 tahun), mendesak pihak sekolah segera mengembalikan Ijazah yang ditahan. A merupakan lulusan SMKN 1 Klungkung tahun 2022.
A menilai ijazah tersebut merupakan hak siswa sebagai tanda telah menyelesaikan kewajiban atau lulus sebagai pelajar di tingkat menengah.
Berdasarkan catatan Kejaksaan Negeri (Kejari) Klungkung, ada 293 ijazah siswa lulusan tahun 2020-2022 yang ditahan karena belum melunasi uang komite sekolah.
"Harapannya bisa dikembalikan ke siswa berwenang supaya siswa mendapatkan hak mereka yang dulu ditunda," katanya saat dihubungi, Sabtu (12/10).
A mengaku kecewa pihak sekolah menahan ijazah siswa. Hal ini karena menghambat proses siswa melanjutkan pekerjaan atau mencari pendidikan di tingkat lebih tinggi.
"Saya secara pribadi sangat menyayangkan sampai 200-an ijazah teman-teman belum dikembalikan, bahkan ada yang kakak tingkat yang belum dapat ijazah karena alasan seperti itu (belum melunasi uang komite)," katanya.
Ketika lulus tahun 2022 lalu, A memiliki dua orang teman yang tak mau membayar uang komite walau ijazah ditahan. Baginya sekolah memberikan ijazah bila melunasi uang komite seolah-oleh mereka membeli ijazah.
"Kalau enggak salah ada dua teman saya sudah kerja tapi ijazah masih di sana, karena mereka enggak mau ngambil karena alasan ngapain itu diambil harus bayar, kayak kita harus membeli jadinya, padahal itu hak kita," sambungnya.
Dia menuturkan, sekolah memberikan ijazah bila siswa menunjukkan bukti telah membayar uang komite ke bank daerah.
A lupa besaran persis dana komite yang ditarik dari siswa. Hal ini karena dia membayar uang komite dan uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sekaligus setiap enam bulan sekali.
Siswa diberikan pilihan membayar uang komite dan SPP bisa setiap bulan, setiap enam bulan atau setiap satu tahun. Menurut sekolah, uang komite ini digunakan untuk membiayai fasilitas SMKN 1 Klungkung. Salah satunya gedung sekolah.
Kursi dan Meja Sekolah Rusak
Berdasarkan informasi yang dihimpun kumparan, besaran uang komite ini mulai dari Rp 50 ribu setiap bulan per siswa.
A mengaku tak heran ada penyimpangan dalam pengelolaan dana komite sekolah atau dikorupsi. Pasalnya, A mengaku sudah membayar dana komite sekitar Rp 600 ribu setiap enam bulan selama tiga tahun ke bank daerah, namun tak puas dengan fasilitas belajar mengajar.
Salah satu di antaranya adalah beberapa kursi dan meja sekolah rusak.
"Kalau uang SPP (dan komite) dipakai untuk biaya gedung dengan dalih bayar uang gedung, nyatanya fasilitas yang kita...